Merdeka.com - Campur tangan uang selalu menghiasi sekaligus mencoreng esensi dari pesta demokrasi. Mulai dari yang terendah pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota DPR maupun DPRD, hingga pemilihan presiden, tidak bisa dilepaskan dari politik uang.
Meskipun masyarakat semakin cerdas dalam berpolitik, namun masih tetap ada yang tidak bisa melepaskan diri dari jeratan politik uang. Hingga akhirnya sempat muncul kampanye bertajuk 'Ambil uangnya jangan pilih orangnya'.
Permasalahan politik uang juga menjadi perhatian serius Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR). Praktik politik uang pun menghiasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun ini. Mereka mengakui sulitnya mengajak masyarakat menolak segala bentuk hadiah dan iming-iming dari calon kepala daerah. Salah satunya karena kebutuhan masyarakat yang seolah memaksa untuk menerima uang dari calon kepala daerah.
Karena sulit mengajak untuk menolak uang, JPPR menyarankan masyarakat tetap melaporkan praktik bagi-bagi uang yang dilakoni calon kepala daerah ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
"Ambil uangnya, lalu laporkan pemberinya. Uang itu silakan diambil, tetapi sebagai bukti," kata Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz kepada merdeka.com, kemarin.
Masykurudin menyadari banyak masyarakat berat membuat laporan soal praktik bagi-bagi uang saat kampanye jelang pemilihan kepala daerah. Banyak faktor membelakanginya. Salah satunya ketakutan mendapat ancaman. "Kalau melaporkan, biasanya masyarakat takut ada hubungan sosial terganggu," ujarnya.
Selama ini pemahaman masyarakat menentang politik uang sebenarnya sudah cukup baik. Prinsip 'ambil uangnya, jangan pilih orangnya' mulai banyak dijalankan. Namun di sisi lain pihaknya justru khawatir adanya perubahan cara pandang masyarakat akan proses demokrasi yang berimbas pada enggannya mereka berpartisipasi aktif sebagai pemilih. "Nantinya kalau semua pasangan calon memberi uang, dan artinya tidak ada yang memilih, tentu akan terjadi golput," ungkapnya.
Sosiolog Musni Umar menuturkan, praktik politik uang biasanya semakin massif jelang pencoblosan. Para calon pemimpin nekat melakukan tindakan apapun karena dibutakan mimpi kekuasaan. Masyarakat perlu disadarkan agar praktik culas semacam ini tidak menjadi budaya.
"Sebaiknya memang tokoh masyarakat kembali mengingatkan, masyarakat lebih cerdas memilih, jangan memilih karena uang atau sembako. Memilihlah karena calonnya bagus," jelas Musni.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah jauh-jauh hari mengimbau seluruh lapisan masyarakat untuk melaporkan kecurangan yang terjadi selama proses pilkada kepada panwaslu. Sehingga momen pilkada ini bisa menjadi proses yang benar-benar bersih dari praktik uang dan transaksi.
"Kami mengimbau masyarakat ya, pilkada yang bersih adalah pilkada yang bukan ada jual belinya. Tak ada transaksinya. Kalau ada model seperti itu dicatat dan laporkan ke Panwaslu kecamatan atau kabupaten/kota," ujar Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, Rabu lalu.
0 Comments